Selasa, 27 Mei 2008

Sehat itu mahal or sakit itu mahal???

Tadi malam, saat mata tak jua hendak terpejam, iseng2 saya menelpon adik saya. Setelah ber ha..ha..hi...hi...kami sampai pada topik keluarga. Entah kenapa, saya teringat akan kondisi budeh yang sudah beberapa bulan ini terbaring sakit. Masih lekat diingatan saya, tatkala saya datang ke rumahnya, ia sedang tergeletak di pembaringannya. Badannya yang dahulu tergolong subur, sekarang terlihat kurus dan sayu. Selintas, ia tampak tegar menghadapi penyakitnya. Hal itu berbanding terbalik dengan apa yang saya dengar dari adik saya. Mereka (ibu, budeh dan pakde saya yang dari Purworejo) beberapa minggu yang lalu berkumpul di rumah saya. Adik saya mencuri dengar pembicaraan mereka tentang apa yang ingin budeh saya persiapkan untuk anaknya kelak jika ia wafat. Sebagai gambaran, budeh saya berumur sekitar 60 tahun. Anaknya sebenarnya 3 orang, tapi anaknya yang kedua meninggal saat masih bayi. Anaknya yang pertama, mungkin usianya sekitar 37an something. Setahun yang lalu ia pulang ke rumahnya (setelah bertahun-tahun tak ada kabar berita) dan mengabarkan bahwa ia sudah menikah serta saat ini istrinya baru saja melahirkan seorang anak perempuan. Do you know what??? Ia pulang karena ia butuh uang untuk biaya melahirkan anaknya yang harus dilahirkan secara caesar. Oh my godness...after that, ia pergi kembali. Beberapa minggu kemudian, gantian istrinya yang muncul beserta anaknya. Ia datang untuk meminta bantuan uang untuk membayar kontrakan rumah yang habis bulan ini. Ufh....itu baru cerita anaknya yang pertama. Anak kedua budeh saya, usianya hanya terpaut beberapa bulan saja dengan saya. Hanya saja, Allah menakdirkan dia berbeda. Saat masih kecil, ia pernah sakit panas yang mengakibatkan beberapa syarafnya rusak. Hasilnya, dengan usianya yang sekarang, kondisi mental maupun fisiknya jauh dibawah usia orang sebayanya. Syukurnya, ia masih normal dalam artian bisa diajak berkomunikasi, bisa berjalan, mandiri. Hanya bicaranya yang kurang jelas dan fisiknya yang tidak berkembang. Mungkin itu yang memberatkan hati budeh saya. Betapa tidak...dengan kondisinya yang seperti itu, tentunya berat untuknya meninggalkan anak perempuannya. Ia berpesan kepada ibu saya, jika ajal menjemput, ia mau anaknya dititipkan ke saudara sepupu saya yang ada di Purworejo dan imbalannya, sepupu saya akan diberikan sebuah rumah. Saat ini ia sedang membiasakan diri untuk melepas anaknya menginap dirumah saudara-saudaranya. Miris hati saya melihatnya. Mungkin saya memang tidak bisa menjenguknya setiap hari. Tapi insya Allah, doa saya selalu menyertainya setiap hari.

Rabu, 14 Mei 2008

Rumah Koe....


Sudah beberapa bulan ini, kami (saya, suami dan Jauzi) disibukkan oleh kegiatan yang berhubungan dengan rumah. Diawali dengan peristiwa setahun yang lalu, dimana banjir menenggelamkan Jakarta, termasuk rumah kontrakan saya. Peristiwa yang sama kembali terulang pada bulan Februari kemarin. Walaupun sudah dihadang dengan tumpukan beton masif, banjir kembali menyapa. Kali ini, ia tak membawa serta rekannya, lumpur dan kotoran2 lainnya. Banjir yang lumayan bersih (karena datangnya dari rembesan lantai), lumayan membuat hati panik. Betapa tidak, si kecil Zayyan baru berusia 1 bulan saat si tamu tahunan datang. Untungnya ia tak terusik dengan datangnya banjir. Genangan air dibawah boks tempat tidurnya, malah membuatnya semakin nyenyak tidur (dingin kali yaa...). Demikian pula dengan si kakak. Ia malah asik bermain air dan berkali2 ganti baju. Banjir kali ini, saya dan suami sepakat untuk mencari rumah, tentunya yang bebas banjir. Pencarian dimulai dengan menelusuri daerah sekitar rumah kontrakan saya yang sekali lagi, bebas banjir. Aneka pameran properti tak luput disambangi, begitu juga dengan info dari rekan2 dan kerabat. Hingga pada suatu hari, iseng membaca spanduk dijalan, pada saat yang sama langsung kami jambangi. Hanya saja, sebelum sampai dilokasi, mampir sebentar disalah satu perumahan yang beberapa bulan sebelum banjir, sudah pernah kami lihat. Setelah mendapatkan brosur, kami kembali ke rencana awal. Sesampainya disana, apa yang dibayangkan tak sebanding dengan kenyataan.

Beberapa hari kemudian, entah angin darimana, tiba2 suami saya memutuskan untuk mengambil rumah di Green Bintaro Residence. Karena kami bukan jutawan, demi mempunyai sebuah rumah, KPR merupakan salah satu solusi. Proses aplikasi hingga akad kredit, hanya memakan waktu tak sampai 1 bulan. Saat ini, rumah kami sedang dalam proses pembangunan, dan insya Allah pertengahan Juni ini sudah selesai. Mudah2an semua urusan dilancarkan oleh Allah SWT, dan suku bunga tidak melonjak. Amieennn...