Selasa, 29 Desember 2009

Kejadian Sebelum Berangkat Kerja

Kejadian 1
Saat saya sedang berkumpul di halaman rumah dan sedang berbincang-bincang dengan ibu-ibu tetangga, Jauzi datang mendekat:
Tetangga : Tumben mbak, jam segini udah dirumah?? Kemarin-kemarin, jarang kelihatan.
Saya : Iya neh, lagi ga ada urusan diluar. Lagi malas juga berlama-lama dikantor.
Jauzi : Bunda, ga boleh kerja lagi ya!!
Tetangga : Nanti kalo bundanya ga kerja, ga punya uang dong!
Jauzi : Ga papa ga punya uang. Nanti bunda aku kasih uang 1.
Tetangga : Loh...nanti kalo ga punya uang, ga bisa jajan deh!
Jauzi : Aku 'kan ga suka jajan tante!
Saya : Hehehehe...bisa aja neh anak!!

Kejadian 2
Suatu hari saat saya hendak bersiap-siap berangkat kerja.
Jauzi : Bunda ga boleh kerja!!
Saya : 'Kan bunda kerja mo cari uang untuk bayar sekolah kakak, buat beli makanan juga...
Jauzi : Engga, pokoknya bunda ga boleh kerja! Klo bunda pergi kerja, nanti aku masukin ke penjara!!
Saya : Hehehehe...(dalam hati bertanya-tanya, ini anak udah tau belum ya apa itu penjara. Sungguh teganya teganya teganya! Masa ibunya sendiri mo dimasukkan ke dalam penjara!!).

Kejadian 3
Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, ada ritual yang biasa saya lakukan bersama anak-anak. Ritual itu adalah berputar-putar keliling komplek dengan menggunakan motor. Cukup dua kali putaran, maka Zayyan akan melepas saya kerja dengan senyuman. Lain halnya dengan Jauzi,
Saya : Kak, bundanya berangkat dulu ya!!
Jauzi : Aku mau putar-putar lagi...
Saya : 'Kan udah barusan. Bundanya nanti terlambat deh masuk kerja!
Jauzi : Aku mau naik motor lagi (sambil tangannya memegang erat stang motor).
Saya : Nanti sore aja lagi Kak!
Jauzi : Engga mau. Aku maunya sekarang aja. Bunda ga boleh kerja!!
Saya : Udah turun, nanti sore lagi naik motornya. Kemarin kan bunda udah beli Yakult. Kakak boleh minum satu aja sehari. Buruan, nanti Yakultnya diambil ama adik looo...
Jauzi langsung turun dari motor dan buru-buru berlari ke kulkas. Setelah itu, dia dengan senyum manisnya keluar rumah lalu mencium pipi saya dan melambaikan tangannya. Pertahanannya jebol juga...hehehehe...

Alerg!



Beberapa minggu yang lalu, saya menyempatkan diri memasak. Menu kali itu, cumi kecap saus tiram ditemani oleh sayur oseng kacang panjang. Bukan menu yang spesial memang, karena ini sudah kesekian kalinya saya membuatnya. Seperti biasa, sebelum malam menjelang, masakan buatan saya sudah habis dilahap oleh seisi rumah (bukan karena enaknya, tapi karena tidak ada pilihan lain, hehehehe).
Keesokan harinya, muncul reaksi yang sangat tidak diduga. Si mbak menemukan beberapa bercak-bercak merah seperti biduran dibeberapa bagian tubuh Zayyan (23 bulan). Awalnya, kami hanya menyangka bahwa badannya digigit semut. Tapi semakin sore, bercak tersebut makin menyebar dari mulai ujung kaki hingga ke bagian kepala dengan disertai suhu tubuh yang agak meningkat plus dibagian yang terkena bercak, agak membengkak. Kecurigaan pertama, mungkin cacar air. Tapi buru-buru hal itu kami tepis mengingat Zayyan sudah pernah diimunisasi cacar (varicella) saat berusia 15 bulan. Sepengetahuan saya, jika telah diberi vaksin cacar air, jikapun terserang cacar air, resiko yang ditimbulkan tidak sebesar orang yang belum pernah divaksin. Jadi, cacar air kami coret dari daftar tersangka. Zayyan tetap beraktifitas seperti biasa, hanya saja sedikit rewel. Untuk mengurangi rasa gatal, kami memberinya bedak antiseptik.
Dua hari berlalu tanpa ada kemajuan yang berarti. Kami berusaha menghubungi dokter anak langganan, hanya saja kali ini kami kurang beruntung. Dokter Partiwi sedang seminar diluar kota. Dokter Eka Nurfitri sedang menunaikan ibadah haji. Pilihan terakhir, ke sebuah rumah sakit ibu dan anak dimana dulu Jauzi lahir.
Anak-anak lumayan senang saat diajak ke rumah sakit. Mungkin itu salah satu hiburan bagi mereka karena bisa jalan-jalan ke tempat yang sudah lama juga tidak mereka kunjungi.Untung saja, dokter tersebut masih praktek disana dan sedang praktek hari itu. Kebetulan juga, hari itu pasien anak-anak tidak terlalu banyak sehingga kami tidak perlu lama menunggu dalam daftar antrian.
Sepanjang menunggu, banyak mata memandang ke arah Zayyan. Mungkin mereka heran akan apa yang sedang dideritanya. Badannya terlihat membengkak namun dia tetap aktif berlarian kesana kemari.
Giliran kami pun tiba. Dokter langsung memeriksanya dan menanyakan riwayat kesehatan Zayyan. Dulu saat masih dibawah satu tahun, Zayyan pernah didiagnosis alergi terhadap debu. Sempat terserang batuk yang lumayan lama hingga harus beberapa kali di terapi inhaler dengan nebulizer. Diagnosis dokter kali ini, tepat seperti dugaan kami, yaitu alergi. Namun alergi kali ini, kami hanya dapat menduga-duga pencetusnya. Tersangka utama yaitu cumi. Jadi, cumi kami singkirkan dulu untuk sementara waktu dari menu masakan. Dokter tidak memberikan banyak obat karena pada dasarnya alergi itu tidak ada obatnya. Yang diperlukan hanya menghindari pencetusnya. Sekedar berjaga-jaga, dokter memberikan resep Parasetamol, sabun cair antiseptik dan beberapa vitamin penguat daya tahan tubuh. Tidak semua resep yang diberikan saya tebus. Selain karena sebagian sudah ada, kami juga tidak ingin menebus obat yang tidak terlalu diperlukan.
Alhamdulillah, pada hari ke-5, berangsur-angsur badan Zayyan kembali normal. Bercak-bercak kemerahan dan bengkaknya perlahan menghilang. Zayyan pun kembali beraktifitas dengan lincahnya sembari bernyanyi riang...tatu tatu...aku tayang mbuuu...

Kamis, 19 November 2009

1st School Trip @ Ocean Park





Setelah memastikan diri mendapatkan izin cuti dari si mami Dora, akhirnya saya bisa menemani Jauzi ke Ocean Park bersama teman-teman dan gurunya dari TK Islam Al-Kautsar. Awalnya si ibu guru menyangsikan kehadiran saya dalam trip kali ini. Mungkin dimata beliau, saya merupakan sesosok ibu yang amat sangat sibuk sampai-sampai tidak punya waktu untuk menemani putrinya sendiri (tepatnya disibuk-sibukkan, hehehehe). Tapi saya meyakinkan beliau bahwa kali ini saya bisa mendampingi Jauzi ke Ocean Park.

Berhubung dalam jadwal tertulis agar berkumpul di Ocean Park pukul 10.30, saya memutuskan untuk berangkat dari rumah pukul 10.00. Rombongan kali ini beranggotakan saya, Jauzi, Zayyan dan mbak Yati. Dalam hati saya berdoa agar cuaca hari ini cukup bersahabat untuk berenang. Tapi sayang seribu sayang, matahari begitu gagahnya menampakkan sinarnya di muka bumi ini. Padahal seharian kemarin, matahari enggan menampakkan diri.

Sesampainya disana, sudah tampak kerumunan orang yang sedang menunggu pintu masuk utama dibuka. Sebelum mengisi buku kehadiran, saya memutuskan untuk sedikit shopping disebuah toko perlengkapan renang yang terdapat dikoridor menuju pintu utama Ocean Park. Kali ini yang saya incar adalah pakaian renang dan ban renang untuk anak lelaki saya, Zayyan. Harga dan kualitasnya lumayan menurut saya. Tidak terlalu mahal untuk ukuran dompet saya (secara hanya ada beberapa toko, biasanya mereka mematok harga yang fantastis). Sehelai pakaian dan ban seluruhnya dibandrol Rp. 90 rb.

Pakaian dan ban renang sudah ditangan. Tinggal menampakkan batang hidung demi beberapa lembar tiket masuk dan makan siang. Selesai absen, kami memutuskan untuk sekedar duduk-duduk menunggu jam buka sembari mengoleskan krim SPF 33. Zayyan dan Jauzi mulai bergerilya mengunjungi tiap sudut. Tinggallah saya sendiri ditengah keramaian para orang tua murid beserta guru-guru. Sepertinya cuma saya seorang yang tidak begitu mengenal komunitas Al-Kautsar. Celingak celinguk ke kanan dan ke kiri sembari berharap ada mahluk sejenis manusia juga yang bersedia berbincang-bincang ga penting dengan saya. Namun nasib belum berpihak pada saya.

Syukurnya tak lama kemudian pintu masuk dibuka. Berbarislah kami menuju ke wahana renang. Selesai berganti pakaian, kami semua dikumpulkan disebuah tempat terbuka. Sambil menunggu peserta yang lain, anak-anak Pre-Kindy TK Al-Kautsar Bintaro plus Graha Raya mulai dikomandokan untuk berdoa dan setelah itu bernyanyi-nyanyi. Ketika semua peserta sudah kumpul, kami digiring menuju kolam renang yang memang dikhususkan bagi anak-anak berusia 2-3 tahun.

Berhubung matahari lagi cantik-cantiknya, saya tidak berani untuk bergabung dikolam renang. Padahal sejak dari rumah saya sudah semangat untuk memamerkan seragam Power Rangers di kolam renang. Pakaian renang saya memang mirip seragam Power Rangers, khususnya Power Rangers yang perempuan. Hehehehe...Walhasil, karena enggan untuk berhitam-hitam ria (masih trauma dengan kejadian renang ditempat yang sama tahun lalu), saya memutuskan untuk duduk-duduk saja dipinggir kolam renang sambil sesekali mengambil foto mereka. Di otak saya hanya ada rentetan kwitansi pembayaran klinik kulit. Nampaknya semua perawatan dan uang yang telah saya keluarkan hanya akan berakhir disini jika saya memaksakan diri berenang (maap ya nak, bukannya bunda tak cinta, tapi muke lebih penting ketimbang berenang). Hahahaha...perawatan yang sudah saya lakukan sejak tiga bulan yang lalu, akan lenyap dalam hitungan menit jika saya berenang. Lebih baik saya menunggu sampai cuaca baik saja.

Selesai santap siang di Bakso Lapangan Tembak, kira-kira pukul 13.00 cuaca tiba-tiba berubah. Matahari yang tadinya begitu galak, perlahan lenyap berganti kumpulan awan-awan hitam. Sepertinya akan turun hujan. Gagal total neh niat mo berenang. Akhirnya kami memutuskan untuk segera bergegas pulang. Lumayanlah hari ini, walaupun tidak jadi berenang, tapi saya puas bisa mendengarkan semua lagu yang ada di album "Ungu." Hihihi...tuh kan, ada untungnya juga!!!

Rabu, 18 November 2009

tentang KEMATIAN



Bulan November ini, seperti yang sudah tersurat dalam hukum alam, hujan mulai mengguyur Jakarta. November rain, begitu kata Guns N Roses. Hujan tidak hanya mengguyur alam ini, tapi juga sedikit banyak membasahi jiwa-jiwa yang kering dan haus akan dahaga. Kali ini, hujan semakin menambah kesenduan di hati saya.

Kesenduan itu tidak dapat terperikan lewat air mata maupun kata-kata. Kesenduan itu berawal saat tepatnya seminggu yang lalu, saya mendapatkan berita tentang keadaannya yang sedang kritis di Rumah Sakit Medistra. Berpacu dengan waktu, kami (saya, mba Hanna dan Sulfan) pergi menjenguknya. Kami tak ingin melewati detik-detik terakhir hidupnya tanpa sempat menjenguknya ataupun sekedar mengucapkan kata-kata perpisahan. Saat itu, Stephanie yang biasanya sangat ceria dan senang bicara, sudah dalam kondisi koma (matanya sudah terpejam, namun masih bernafas). Hanya sesekali terdengar rintihan suara...ma...ma...Ruangan tempat dirinya dirawat dipenuhi oleh rekan, kerabat maupun keluarga inti. Mereka sepertinya sudah siap menerima segala resiko terburuk dari penyakitnya.

Rabu, 11/11/09 pukul 18.55, berita itu tiba. Kami telah kehilangan sesosok sahabat yang telah dipanggil oleh-NYA. Setelah kurang lebih 2 tahun berjuang melawan kanker, Stephanie Widyani kembali ke haribaan-NYA. Saya katakan gagah berani karena ia kembali ke penciptanya dengan wajah yang sangat cantik dan senyum yang begitu tulus. Gagah berani memang kata yang pantas untuk disandang olehnya. Bayangkan, pada usia 29 tahun ia divonis terkena kanker usus. Sembuh dari penyakit tersebut, giliran kanker ovarium yang menyerang. Lepas dari itu, kali ini paru-paru yang diserang. Dari seluruh ujian yang dihadapinya, tak pernah sekalipun ia menggugat atas apa yang ditakdirkan kepadanya. Bahkan, ia tidak mau dikalahkan dengan penyakitnya. Ia terus berjuang sampai nafas penghabisan.

Stephanie yang ceria, lucu, dan selalu berpositif thinking terhadap semua hal. Stephanie yang begitu kuat dan sangat energik. Stephanie yang dalam setiap ucapannya terdapat kata "Bouw." Stephanie yang suka bergaul, supel, dan banyak teman. Stephanie yang cantik, baik hati dan tidak sombong. Stephanie yang itu..yaaa...yang itu...yang saat kepergiannya menggunakan busana putih, seputih hatinya...ia....teman kami...sahabat kami...yang walaupun belum lama kami mengenalnya (kira-kira dua tahunan), tapi semua keceriaannya, kebaikannya, keramahannya...begitu melekat dihati kami.

Selamat jalan sahabat...doa kami mengiringi setiap langkahmu...semoga semua ujian yang telah dirimu hadapi di dunia ini, mendapatkan akhir yang indah disana. We love you!!!

Jumat, 23 Oktober 2009

2 Tahun 3 Hari (Puisi Untuk Bahagia dan Luka)

Berdansa...mabuk dunia
Kelaparan...digebuki cinta
Merenung...frustasi
Berpikir...pening
Penyelesaian...perubahan
Kebajikan di saat ajal
Dunia...kematian

Marah...
Kesedihan aku bawa sendiri
Atau aku letakkan diruang terbatas
Cinta tak dibutuhkan
Karena kita tau kasih telah berakhir
Kita tahu...mendapatkan kebahagiaan yg lebih murah

Untuk apa cinta yang mengguncang kita
Sakit dari bulu kaki sampai ulu hati
Kita ciptakan aturan sambil berteriak
...enyahlah cinta...
Kesabaran atau tidur
Menyerah pada pikiran
Rutinitas..
Kebosanan sambil berbisik...
...sayang ada orang lain...

Bertanya pada dunia adalah berkaca pada diri sendiri
Orang lain tentu tak kan musnah
Langka tapi harus berbagi
Akhir sejarah, praduga harus diterima menjadi kebenaran
Sakit...
rintihan...
luka...
hempasan...cermin diri dipantulkan
Kita tak perlu tangan Gigantis
Ada tangan lain yang tak terlihat walau kita paksa ditiadakan

Merenung...
Merajut...
Menangis...
Berjanji...
Harapan...
Kebenaran...

Air mata...
Kekasih...
Kesetiaan...
Ketulusan...
Cinta...
Bersama, perih...menetes...

Menatap rembulan, ditatap bintang
Menangis, merintih, menari, merana
Angin malam, dingin...
Terluka, terhina tanpa asa
Cahaya bulan...
Sinar bintang...syahdu...menyapa relung kalbu
Menetes kata dan dosa
Hina, pendosa tak terkira
Disini semua nyata

Menetes, mengalir bersama malam
Gelap...menatap muara
Tiada riak atau delta
Muara tak jua bersua
Cengkrama nipah dan angin
Kegelisahan ditinggal tepian
Hanyut terbawa riak ketidakpastian dan prasangka
Alir sungai dan muara telah berbeda
Jauh...terpisah, menyimpang
Riak dan tepian tersenyum
Terpuaskan hasratku...

Menahan dingin, tulang tak berdaging
Ugh...sendiri...sepi...sunyi
Kabut menyentuh sumsum
Membelai raga
Inilah aku...
Akulah malam,
Akulah dingin,
Akulah sepi
Aku sendiri dalam duka
Bercermin pada malam, gelap...
Berkata tanpa kata
Goresan tanpa kalimat
Penghuni malam berkata:
Anak manusia ditelan duka
Bintang bertutur pada bulan:
Diam...
Dingin...
Malam...
Sendiri...
Duka...
Sepi...
Hening...
Mati

Pagi...
Mendung...
Awan berlari-lari
Akal dan logika mati suri

Hujan dibawah pohon mangga
Sebatang rokok, segelas kopi
Berpikir, berkhayal, melamun
Tes...tes...tes...canda hujan pada bumi
Mengalir...merembes...hilang entah kemana
Aku masih disini

Bersalah...
Jiwa tragis nan agung
Korban atau kurban adalah gelap dan terang
Kisah Antigone terulang
Oedipus dan Thebes
Salah tapi tak bersalah

Jakarta, 23 Desember 2004
(Puisi ini dibuat oleh seseorang dalam mengenang perjalanan kisah cinta kami yang pasang surut pada masa pacaran dulu dan seseorang tersebut kini telah mendampingi perjalanan hidup saya selama kurang lebih 4 tahun 3 bulan)

Perkenankanlah aku mencintaimu

Perkenankanlah aku mencintaimu
seperti ini
tanpa kekecewaan yang berarti
meski tanpa kepastian yang pasti
harapan-harapan yang setiap kali
dikecewakan kenyataan
biarlah dibayar oleh harapan-harapan
baru yang yang menjanjikan
Perkenankanlah aku mencintaimu
semampuku
menyebut-nyebut namamu
dalam kesendirianpun lumayan
berdiri di depan pintumu tanpa harapan
kau membukakannya pun terasa nyaman
sekali-kali membayangkan kau memperhatikan
pun cukup memuaskan
perkenankanlah aku mencintaimu sebisaku.
-A.Mustofa Bisri-

Sayap Yang Tak Pernah Patah (by Anis Matta)

Mari kita bicara tentang orang-orang yang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vandervijck tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka “majnun” lalu mati. Atau jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir. Atau layu tak terbalas.

Ini cerita cinta yang abadi yang digali dari mata air-air mata. Dunia tidak merah jambu. Disana hanya ada Qais yang telah Majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung :
"Ooo burung, adakah yang mau meminjamkan sayap! Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati."

Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan bela sungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri .

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai disana, apabila ada cinta dihati satu pastilah ada cinta dihati yang lain, “kata Rumi” sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain. Mungin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling haqiqi, selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat, kita tidak pelu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan yang agung : mencintai.

Ketika kasih tak sampai atau uluran tangan cinta ditolak yang sesungguhya terjadi hanyalah kesempatan memberi yang lewat. Hanya itu setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan maka persoalan ketidak sampaian jadi tidak relevan karena ini hanya murni masalah waktu.

Para cinta sejati selamanya hanya bertanya “apakah yang akan kuberikan”? Tentang kepada siapa sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi kita hanya patah atau hancur karena kita lemah, kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini menyintai seseorang lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama itu lantas menjadi sumber kesengsaraan kita menderita bukan karena kita menyintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.

(Tulisan yang sangat menyentuh hati. Very inspiring...buat para pencinta cinta. Enjoy....)


Sabtu, 17 Oktober 2009

Bapak...

20 tahun yang lalu, pada tanggal 13 Oktober, saya telah kehilangan sesosok mahluk yang juga merupakan idola saya, yaitu Bapak. 20 tahun yang lalu, hujan air mata membanjiri kediaman kami. Bapak berpulang ke haribaan-Nya dalam usia yang masih terbilang muda, 40 tahun, setelah berjuang selama kurang lebih 10 hari melawan penyakit lever yang telah menggerogoti hatinya lebih dari 2 tahun.

Masih terngiang ditelinga saya, pesan dan amanah yang beliau ucapkan pada hari terakhir kami bertemu. Sore itu, di salah satu kamar di rumah sakit Saint Carolus di Salemba, selepas menunaikan sholat Ashar, bapak memanggil saya agar mendekat ke tempat tidurnya. Ahh...bapak memang lelaki yang baik. Walaupun badannya dipenuhi oleh beberapa selang infus, tapi tak menghalangi niatnya untuk beribadah. Menjelang detik-detik terakhir, beliau malah semakin relijius.

Saat saya mendekatinya, saya diminta untuk duduk disamping tempat tidurnya. Beliau lantas berpesan agar saya rajin sholat dan mendoakannya, juga beliau berpesan agar saya tidak nakal dan mau menjaga mama dan adik-adik. Kemudian beliau mencium kening saya dan memandang wajah saya agak lama. Saat itu saya tidak mempunyai firasat apapun. Hanya sedikit aneh, kenapa hanya saya yang diberi wejangan dan nasehat sementara pada saat yang bersamaan, disitu ada kakak dan adik-adik saya.

Kejadian itu berlangsung pada hari rabu. Hari kamisnya, tak ada satupun dari kami, anak-anaknya yang menjenguk beliau di rumah sakit walaupun ada beberapa kerabat yang mengajak kami ke sana. Entahlah...

Jumat pagi, kami dibangunkan oleh si mbak dan segera diminta mandi. Kami diminta agar tidak ke sekolah tanpa diberitahu apa penyebabnya. Seluruh keluarga sudah berkumpul dirumah dan isak tangis si mbak maupun keluarga tak dapat membohongi kami mengenai apa yang telah terjadi. Saya yang saat itu berusia 9 tahun, sudah bisa mencium gelagat bahwa kami telah kehilangan bapak yang sangat kami sayangi. Begitu pula kakak saya yang hanya terpaut 16 bulan dengan saya, sudah paham akan apa yang telah terjadi. Hanya adik-adik yang mungkin belum menyadari apa artinya kehilangan seorang bapak. Saya dan kakak hanya dapat berbisik-bisik mengenai kepergian bapak. Di kamar mandi itu pula, kakak saya bercerita bahwa semalam ia bermimpi mendengar suara kicau burung yang aneh yang tidak pernah ia dengar selama ini.

Betul saja, bapak telah berpulang. Itu kabar yang disampaikan oleh budeh saya ketika kami diminta berkumpul. Tak ada isakan tangis, hanya setetes air mata dan doa. Ruang tamu segera dibereskan beserta perabotnya. Yang tinggal hanyalah sebuah dipan kecil tempat disemayamkannya jenazah bapak. Saat ambulans pengantar jenazah tiba, itulah saat saya dapat melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya. Bapak terlihat tersenyum walaupun dari lubang hidungnya mengeluarkan darah. Saya masih ingat betul warna pakaian terakhir yang bapak kenakan berwarna coklat. Mama terlihat menangis dan histeris bahkan sempat beberapa kali pingsan. Bisa saya rasakan kepedihannya sebagai ibu muda yang ditinggal pergi sang suami dan harus mengemban amanah 4 orang anak perempuan yang masih kecil-kecil. Keluarga beserta tamu banyak berdatangan dari berbagai kalangan. Alhamdulillah, banyak juga yang ikut menyolatkan bapak. Bapak memang pandai bergaul dan orang yang humoris serta penolong. Tak heran, bapak punya banyak teman. Selama bertakziah, semua orang menceritakan pengalaman-pengalamannya selama bergaul dengannya. Kebanyakan memuji perilaku dan sikap bapak yang baik. Bahkan pada saat sakaratul maut, bapak masih sempat meminta maaf kepada mama dan juga keluarga yang ada pada saat itu. Dua kalimat syahadat dilafazkannya saat malaikat maut menjemput. Tak ada tanda-tanda kesakitan maupun siksaan saat ajal menjemput. Subhanallah....

Setelah disholatkan, jenazah lalu dibawa ke rumah mak tuo, di Klender. Disitulah rencananya bapak akan dimakamkan, tidak jauh dari rumah kakaknya. Setelah nenek dan angku beserta keluarga dari Kinari tiba, barulah jenazah bapak dimakamkan. Tepatnya setelah adzan Maghrib, bapak dimakamkan dengan diiringi oleh tetesan air mata, doa dan hujan gerimis yang menyertai sendunya prosesi. Bapak memang orang sholeh...bahkan bumi pun menangis mengiringi kepergiannya.

Bapak, seorang lelaki Minang bersuku Tanjung yang dilahirkan di Kinari, Sumatera Barat, merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara seibu dan sebapak. Kedua saudaranya perempuan semua. Selepas sekolah dasar di Kinari, bapak melanjutkan sekolah di Solok. Sedangkan waktu SMA dan kuliah, bapak habiskan dikota Yogyakarta. Dulu bapak mengenyam pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada fakultas Hukum. Karena itu pula, logat dan perilakunya lebih mencerminkan orang Jawa ketimbang orang Sumatra.

Selepas kuliah, beliau bekerja disalah satu instansi pemerintah dimana disitu pula beliau bertemu dengan mama. Walaupun awalnya sempat ditentang keluarga, mereka akhirnya menikah jua. Adat dan faktor sukuisme memang masih sangat kental di keluarga kami. Bapak menikah pada usia 29 tahun. Perbedaan usia antara bapak dan mama sekitar 7 tahun. Bapak sangat menginginkan seorang anak laki-laki, sedangkan kami berempat perempuan semua. Walaupun begitu, tak mengurangi rasa sayangnya kepada kami berempat.

Pekerjaannya yang banyak menyita waktu untuk bepergian ke berbagai pelosok nusantara, tak menghalangi keakraban diantara kami. Saat waktunya sholat Maghrib, kami selalu sholat berjamaah. Beliau yang mengajariku mengaji, berdoa dan sholat. Terkadang beliau pula yang menemaniku saat mengerjakan PR. Karena itu juga, saya selalu berusaha membuatnya bangga. Prestasi yang saya raih di sekolah, selalu mengingatkan saya akan bapak. Saya tidak ingin mengecewakan hati bapak.

Setiap ada masalah, selalu bapak yang saya panggil. Bapak orang yang sabar dan sangat melindungi. Pernah ketika saya berkelahi dengan teman saya, bapaklah yang menjadi pahlawan saya. Bahkan saat saya beranjak besar, setiap ada masalah dan membuat saya sedih, bapak jualah yang selalu saya ingat dan saya panggil walaupun saya sadar bahwa bapak sudah tidak ada. Beberapa kali pula bapak hadir dalam mimpi saya. Tak banyak yang dikatakannya. Beliau hanya tersenyum dan memandang wajah saya. Setiap kali pula, saya selalu mengatakan kepadanya untuk jangan pergi meninggalkan saya. Tetapi Allah memang lebih mencintainya. Orang baik memang selalu pergi lebih dulu.

Bapak....andai bapak masih disini....
Kan kurangkai semua nada-nada indah untuk mu
Kan ku persembahkan seluruh untaian kasihku
Semuanya...tak terkecuali

Bapak...banyak maaf ku lontarkan
jika diri ini masih banyak melakukan dosa
Masih belum bisa memenuhi amanahmu
Masih banyak waktu yang dilalui tanpa mendoakan mu

Bapak...
Semoga bapak bahagia di sisi-Nya
Bersama dengan malaikat-malaikat-Nya
Di naungan Ar-Rasyi
Mudah-mudahan kita dapat berkumpul kembali kelak

Bapak...
Kangen....

Ya Allah...ampunilah dosanya dan sayangilah beliau sebagaimana beliau menyayangiku diwaktu aku kecil. Amieennn...(In memoriam, Arsal Sali, 9 September 1949-13 Oktober 1989).




Rabu, 15 Juli 2009

Siapa bilang PilPres ga dikenakan biaya???!!!

Seumur hidup saya yang baru berumur 17 tahun ini (hehehe...in my dream), baru kali ini saya mengikuti yang namanya Pemilihan Presiden langsung. Ini bukan kali pertama saya mengikuti pemilu. Tahun 1999, saat masih berstatus mahasiswa dan masih jomblo (ga penting amat ya??), saya pernah ikut pemilu. Ditambah lagi saat itu saya menjadi salah satu volunteer pengawas pemilu (UNFREL). Pemilu yang selanjutnya, saya tidak pernah terdaftar karena status saya yang nomaden alias berpindah-pindah antara kosan dan rumah ibu saya di Bogor. Begitu juga pemilu legislatif yang lalu. Kembali saya tidak terdaftar dimanapun walaupun saya memiliki KTP. Keberuntungan (atau kemalangan ya) menghampiri saya pada pilpres kali ini. Beruntung karena pada akhirnya bisa memberikan suara untuk kemajuan demokrasi di Indonesia. Malang, karena jujur saja, belum ada capres yang sesuai dengan pilihan hati saya.
Pagi, pukul 10.00 setelah diingatkan oleh si mbak, akhirnya saya dan pasukan meluncur menuju ke TPS 17 di Kampung Sawah. Suasana tidak begitu ramai, hanya ada suara guyonan yang keluar dari mulut sesepuh desa dengan logat betawi yang kental. Agak bingung juga mengingat ini kali pertama saya memilih setelah 10 tahun yang lalu. Masuk ke bilik suara, kembali kebingungan menyerbu. Mana yang akan saya pilih. Mau menghitung kancing, tapi tidak pakai baju berkancing. Akhirnya cap cip cup, tapi kok ya hasil akhirnya juga kurang sreg. Sepertinya kalau saya pilih yang satu itu, yang lain seperti menghiba minta dicontreng dan yang lainnya lagi seperti melihat saya dengan pandangan memelas. Duh...ga tega deh!!! Akhirnya, saya pilih salah satu pasangan, tanpa melihat foto-foto capres yang lainnya. Maaf yaa...next time kalo mencalonkan diri jadi capres lagi, mungkin biar adil, akan saya pilih. Hehehehe....
Keluar dari bilik suara, surat suara saya masukkan ke kotak suara dan karena ketidaktahuan saya, akhirnya jempol tangan kanan saya, ketiban sial terkena tinta pemilu yang warnanya seperti blao. Setelah saya perhatikan, kebanyakan orang mencelupkan tinta pemilu dijari kelingking. Oalah...cuma saya aja yang mencelupkan jempol tangan.
Kewajiban memilih selesai. Berhubung ada tukang rujak didepan TPS, walhasil anak-anak saya meminta jatah menunggu dengan beberapa jenis buah-buahan dan sepiring rujak. Untungnya saya bawa uang. Tuh kan...siapa bilang ikut pilpres ga kena biaya??? Saya aja mesti mengeluarkan uang sebesar Rp. 10.000,- sebagai kompensasi bagi anak-anak saya yang menunggu saya memilih capres. Mungkin sebagai masukan dari saya kepada pemerintah, pemilu selanjutnya, mbok ya diberikan jatah sarapan or jajanan bagi si pemilih. Hehehehe....
FYI, sepertinya presiden pilihan saya (hasil mencontreng dengan mata terpejam) belum dapat banyak suara. Padahal saya harap lebih cepat lebih baik (berlaku pada hal-hal yang baik, seperti pada tanggal gajian, kenaikan gaji, dll.). Ya sut, sekian saran dan masukan dari saya mengenai pilpres kali ini.
Have a nice summer holiday gals....

Senin, 12 Januari 2009

Zayyan 1st Birthday


It's been likes ages since my last posting at Blogger. Yup...liburan panjang sempat membuat saya terlena dengan tidak adanya aktifitas yang mengikat selain makan, minum dan tidur yang tentunya merupakan tanda bahwa saya masih diberi hidup. Tak terasa, 9 Januari kemarin, Zayyan Riffa'at sudah mencapai usia 1 tahun. Sudah banyak yang bisa dilakukan olehnya seperti merangkat, merambat, berdiri tanpa berpegangan, hanya berjalan saja yang sepertinya masih agak malas dilakukannya kecuali lupa. Selangkah dua langkah kaki, sudah mampu ia jalani. Secara emosional, ia juga sudah mulai bisa menunjukkan seperti kalau ia tidak suka, ia akan marah bahkan menangis. Well, sebagai rasa syukur atas berkah usia dan kesehatan yang telah dilimpahkan oleh-NYA, sekaligus ajang silaturahmi ke tetangga2, kami menyebarkan sekotak nasi uduk dan lauk pauknya ke tetangga sekitar, orang-orang terdekat dan sanak saudara. Acara sederhana yang melibatkan sanak saudara, dilalui dengan menyanyikan lagu kebangsaan orang yang berulang tahun dan tak lupa tiup lilin. Selanjutnya, penganan2 kecil menemani obrolan-obrolan ringan. "Selamat ulang tahun Zayyan, semoga diberikan usia yang diberkahi, diberikan kesehatan, kepandaian dan hati yang mulia oleh Allah SWT." Amieenn....I love u...