Jumat, 23 Oktober 2009

2 Tahun 3 Hari (Puisi Untuk Bahagia dan Luka)

Berdansa...mabuk dunia
Kelaparan...digebuki cinta
Merenung...frustasi
Berpikir...pening
Penyelesaian...perubahan
Kebajikan di saat ajal
Dunia...kematian

Marah...
Kesedihan aku bawa sendiri
Atau aku letakkan diruang terbatas
Cinta tak dibutuhkan
Karena kita tau kasih telah berakhir
Kita tahu...mendapatkan kebahagiaan yg lebih murah

Untuk apa cinta yang mengguncang kita
Sakit dari bulu kaki sampai ulu hati
Kita ciptakan aturan sambil berteriak
...enyahlah cinta...
Kesabaran atau tidur
Menyerah pada pikiran
Rutinitas..
Kebosanan sambil berbisik...
...sayang ada orang lain...

Bertanya pada dunia adalah berkaca pada diri sendiri
Orang lain tentu tak kan musnah
Langka tapi harus berbagi
Akhir sejarah, praduga harus diterima menjadi kebenaran
Sakit...
rintihan...
luka...
hempasan...cermin diri dipantulkan
Kita tak perlu tangan Gigantis
Ada tangan lain yang tak terlihat walau kita paksa ditiadakan

Merenung...
Merajut...
Menangis...
Berjanji...
Harapan...
Kebenaran...

Air mata...
Kekasih...
Kesetiaan...
Ketulusan...
Cinta...
Bersama, perih...menetes...

Menatap rembulan, ditatap bintang
Menangis, merintih, menari, merana
Angin malam, dingin...
Terluka, terhina tanpa asa
Cahaya bulan...
Sinar bintang...syahdu...menyapa relung kalbu
Menetes kata dan dosa
Hina, pendosa tak terkira
Disini semua nyata

Menetes, mengalir bersama malam
Gelap...menatap muara
Tiada riak atau delta
Muara tak jua bersua
Cengkrama nipah dan angin
Kegelisahan ditinggal tepian
Hanyut terbawa riak ketidakpastian dan prasangka
Alir sungai dan muara telah berbeda
Jauh...terpisah, menyimpang
Riak dan tepian tersenyum
Terpuaskan hasratku...

Menahan dingin, tulang tak berdaging
Ugh...sendiri...sepi...sunyi
Kabut menyentuh sumsum
Membelai raga
Inilah aku...
Akulah malam,
Akulah dingin,
Akulah sepi
Aku sendiri dalam duka
Bercermin pada malam, gelap...
Berkata tanpa kata
Goresan tanpa kalimat
Penghuni malam berkata:
Anak manusia ditelan duka
Bintang bertutur pada bulan:
Diam...
Dingin...
Malam...
Sendiri...
Duka...
Sepi...
Hening...
Mati

Pagi...
Mendung...
Awan berlari-lari
Akal dan logika mati suri

Hujan dibawah pohon mangga
Sebatang rokok, segelas kopi
Berpikir, berkhayal, melamun
Tes...tes...tes...canda hujan pada bumi
Mengalir...merembes...hilang entah kemana
Aku masih disini

Bersalah...
Jiwa tragis nan agung
Korban atau kurban adalah gelap dan terang
Kisah Antigone terulang
Oedipus dan Thebes
Salah tapi tak bersalah

Jakarta, 23 Desember 2004
(Puisi ini dibuat oleh seseorang dalam mengenang perjalanan kisah cinta kami yang pasang surut pada masa pacaran dulu dan seseorang tersebut kini telah mendampingi perjalanan hidup saya selama kurang lebih 4 tahun 3 bulan)

Perkenankanlah aku mencintaimu

Perkenankanlah aku mencintaimu
seperti ini
tanpa kekecewaan yang berarti
meski tanpa kepastian yang pasti
harapan-harapan yang setiap kali
dikecewakan kenyataan
biarlah dibayar oleh harapan-harapan
baru yang yang menjanjikan
Perkenankanlah aku mencintaimu
semampuku
menyebut-nyebut namamu
dalam kesendirianpun lumayan
berdiri di depan pintumu tanpa harapan
kau membukakannya pun terasa nyaman
sekali-kali membayangkan kau memperhatikan
pun cukup memuaskan
perkenankanlah aku mencintaimu sebisaku.
-A.Mustofa Bisri-

Sayap Yang Tak Pernah Patah (by Anis Matta)

Mari kita bicara tentang orang-orang yang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vandervijck tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka “majnun” lalu mati. Atau jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir. Atau layu tak terbalas.

Ini cerita cinta yang abadi yang digali dari mata air-air mata. Dunia tidak merah jambu. Disana hanya ada Qais yang telah Majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung :
"Ooo burung, adakah yang mau meminjamkan sayap! Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati."

Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan bela sungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri .

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai disana, apabila ada cinta dihati satu pastilah ada cinta dihati yang lain, “kata Rumi” sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain. Mungin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling haqiqi, selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat, kita tidak pelu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan yang agung : mencintai.

Ketika kasih tak sampai atau uluran tangan cinta ditolak yang sesungguhya terjadi hanyalah kesempatan memberi yang lewat. Hanya itu setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan maka persoalan ketidak sampaian jadi tidak relevan karena ini hanya murni masalah waktu.

Para cinta sejati selamanya hanya bertanya “apakah yang akan kuberikan”? Tentang kepada siapa sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi kita hanya patah atau hancur karena kita lemah, kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini menyintai seseorang lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama itu lantas menjadi sumber kesengsaraan kita menderita bukan karena kita menyintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.

(Tulisan yang sangat menyentuh hati. Very inspiring...buat para pencinta cinta. Enjoy....)


Sabtu, 17 Oktober 2009

Bapak...

20 tahun yang lalu, pada tanggal 13 Oktober, saya telah kehilangan sesosok mahluk yang juga merupakan idola saya, yaitu Bapak. 20 tahun yang lalu, hujan air mata membanjiri kediaman kami. Bapak berpulang ke haribaan-Nya dalam usia yang masih terbilang muda, 40 tahun, setelah berjuang selama kurang lebih 10 hari melawan penyakit lever yang telah menggerogoti hatinya lebih dari 2 tahun.

Masih terngiang ditelinga saya, pesan dan amanah yang beliau ucapkan pada hari terakhir kami bertemu. Sore itu, di salah satu kamar di rumah sakit Saint Carolus di Salemba, selepas menunaikan sholat Ashar, bapak memanggil saya agar mendekat ke tempat tidurnya. Ahh...bapak memang lelaki yang baik. Walaupun badannya dipenuhi oleh beberapa selang infus, tapi tak menghalangi niatnya untuk beribadah. Menjelang detik-detik terakhir, beliau malah semakin relijius.

Saat saya mendekatinya, saya diminta untuk duduk disamping tempat tidurnya. Beliau lantas berpesan agar saya rajin sholat dan mendoakannya, juga beliau berpesan agar saya tidak nakal dan mau menjaga mama dan adik-adik. Kemudian beliau mencium kening saya dan memandang wajah saya agak lama. Saat itu saya tidak mempunyai firasat apapun. Hanya sedikit aneh, kenapa hanya saya yang diberi wejangan dan nasehat sementara pada saat yang bersamaan, disitu ada kakak dan adik-adik saya.

Kejadian itu berlangsung pada hari rabu. Hari kamisnya, tak ada satupun dari kami, anak-anaknya yang menjenguk beliau di rumah sakit walaupun ada beberapa kerabat yang mengajak kami ke sana. Entahlah...

Jumat pagi, kami dibangunkan oleh si mbak dan segera diminta mandi. Kami diminta agar tidak ke sekolah tanpa diberitahu apa penyebabnya. Seluruh keluarga sudah berkumpul dirumah dan isak tangis si mbak maupun keluarga tak dapat membohongi kami mengenai apa yang telah terjadi. Saya yang saat itu berusia 9 tahun, sudah bisa mencium gelagat bahwa kami telah kehilangan bapak yang sangat kami sayangi. Begitu pula kakak saya yang hanya terpaut 16 bulan dengan saya, sudah paham akan apa yang telah terjadi. Hanya adik-adik yang mungkin belum menyadari apa artinya kehilangan seorang bapak. Saya dan kakak hanya dapat berbisik-bisik mengenai kepergian bapak. Di kamar mandi itu pula, kakak saya bercerita bahwa semalam ia bermimpi mendengar suara kicau burung yang aneh yang tidak pernah ia dengar selama ini.

Betul saja, bapak telah berpulang. Itu kabar yang disampaikan oleh budeh saya ketika kami diminta berkumpul. Tak ada isakan tangis, hanya setetes air mata dan doa. Ruang tamu segera dibereskan beserta perabotnya. Yang tinggal hanyalah sebuah dipan kecil tempat disemayamkannya jenazah bapak. Saat ambulans pengantar jenazah tiba, itulah saat saya dapat melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya. Bapak terlihat tersenyum walaupun dari lubang hidungnya mengeluarkan darah. Saya masih ingat betul warna pakaian terakhir yang bapak kenakan berwarna coklat. Mama terlihat menangis dan histeris bahkan sempat beberapa kali pingsan. Bisa saya rasakan kepedihannya sebagai ibu muda yang ditinggal pergi sang suami dan harus mengemban amanah 4 orang anak perempuan yang masih kecil-kecil. Keluarga beserta tamu banyak berdatangan dari berbagai kalangan. Alhamdulillah, banyak juga yang ikut menyolatkan bapak. Bapak memang pandai bergaul dan orang yang humoris serta penolong. Tak heran, bapak punya banyak teman. Selama bertakziah, semua orang menceritakan pengalaman-pengalamannya selama bergaul dengannya. Kebanyakan memuji perilaku dan sikap bapak yang baik. Bahkan pada saat sakaratul maut, bapak masih sempat meminta maaf kepada mama dan juga keluarga yang ada pada saat itu. Dua kalimat syahadat dilafazkannya saat malaikat maut menjemput. Tak ada tanda-tanda kesakitan maupun siksaan saat ajal menjemput. Subhanallah....

Setelah disholatkan, jenazah lalu dibawa ke rumah mak tuo, di Klender. Disitulah rencananya bapak akan dimakamkan, tidak jauh dari rumah kakaknya. Setelah nenek dan angku beserta keluarga dari Kinari tiba, barulah jenazah bapak dimakamkan. Tepatnya setelah adzan Maghrib, bapak dimakamkan dengan diiringi oleh tetesan air mata, doa dan hujan gerimis yang menyertai sendunya prosesi. Bapak memang orang sholeh...bahkan bumi pun menangis mengiringi kepergiannya.

Bapak, seorang lelaki Minang bersuku Tanjung yang dilahirkan di Kinari, Sumatera Barat, merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara seibu dan sebapak. Kedua saudaranya perempuan semua. Selepas sekolah dasar di Kinari, bapak melanjutkan sekolah di Solok. Sedangkan waktu SMA dan kuliah, bapak habiskan dikota Yogyakarta. Dulu bapak mengenyam pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada fakultas Hukum. Karena itu pula, logat dan perilakunya lebih mencerminkan orang Jawa ketimbang orang Sumatra.

Selepas kuliah, beliau bekerja disalah satu instansi pemerintah dimana disitu pula beliau bertemu dengan mama. Walaupun awalnya sempat ditentang keluarga, mereka akhirnya menikah jua. Adat dan faktor sukuisme memang masih sangat kental di keluarga kami. Bapak menikah pada usia 29 tahun. Perbedaan usia antara bapak dan mama sekitar 7 tahun. Bapak sangat menginginkan seorang anak laki-laki, sedangkan kami berempat perempuan semua. Walaupun begitu, tak mengurangi rasa sayangnya kepada kami berempat.

Pekerjaannya yang banyak menyita waktu untuk bepergian ke berbagai pelosok nusantara, tak menghalangi keakraban diantara kami. Saat waktunya sholat Maghrib, kami selalu sholat berjamaah. Beliau yang mengajariku mengaji, berdoa dan sholat. Terkadang beliau pula yang menemaniku saat mengerjakan PR. Karena itu juga, saya selalu berusaha membuatnya bangga. Prestasi yang saya raih di sekolah, selalu mengingatkan saya akan bapak. Saya tidak ingin mengecewakan hati bapak.

Setiap ada masalah, selalu bapak yang saya panggil. Bapak orang yang sabar dan sangat melindungi. Pernah ketika saya berkelahi dengan teman saya, bapaklah yang menjadi pahlawan saya. Bahkan saat saya beranjak besar, setiap ada masalah dan membuat saya sedih, bapak jualah yang selalu saya ingat dan saya panggil walaupun saya sadar bahwa bapak sudah tidak ada. Beberapa kali pula bapak hadir dalam mimpi saya. Tak banyak yang dikatakannya. Beliau hanya tersenyum dan memandang wajah saya. Setiap kali pula, saya selalu mengatakan kepadanya untuk jangan pergi meninggalkan saya. Tetapi Allah memang lebih mencintainya. Orang baik memang selalu pergi lebih dulu.

Bapak....andai bapak masih disini....
Kan kurangkai semua nada-nada indah untuk mu
Kan ku persembahkan seluruh untaian kasihku
Semuanya...tak terkecuali

Bapak...banyak maaf ku lontarkan
jika diri ini masih banyak melakukan dosa
Masih belum bisa memenuhi amanahmu
Masih banyak waktu yang dilalui tanpa mendoakan mu

Bapak...
Semoga bapak bahagia di sisi-Nya
Bersama dengan malaikat-malaikat-Nya
Di naungan Ar-Rasyi
Mudah-mudahan kita dapat berkumpul kembali kelak

Bapak...
Kangen....

Ya Allah...ampunilah dosanya dan sayangilah beliau sebagaimana beliau menyayangiku diwaktu aku kecil. Amieennn...(In memoriam, Arsal Sali, 9 September 1949-13 Oktober 1989).