Sabtu, 27 Maret 2010

Jauzi dan Upil

Betapa terkejutnya saya karena ternyata anak perempuan saya mempunyai kebiasaan yang sangat unik. Dia senang memakan upilnya sendiri!! Bayangkan...betapa joroknya...
Saya : Lagi ngapain kak?
Jauzi : Lagi ngupil Bunnn...(terlihat sedang mengorek-ngorek hidungnya)
Saya : Dapat ga upilnya?
Jauzi : Neh dapat!! (menunjukkan hasil kerja kerasnya yang menghasilkan sebuah upil yang lumayan besar dan mulai memasukkannya ke mulut).
Saya : Ihhh...jorok amat sih Kak!! Itukan kotor..
Jauzi : Hehehehe...(tersenyum-senyum sendiri sambil mengunyah).
Saya : OMG!!! Huekkkkk....

My Name is Khan

Siang ini, saya menyempatkan menonton film India yang berjudul My Name is Khan. Film ini bermula saat seorang anak, Rizwan Khan, seorang muslim yang mengidap sindrom Asperger, hidup bersama ibunya (Zarina Wahab) di wilayah Borivali di Mumbai. Ia memiliki seorang adik laki-laki. Saat ia dewasa dan ditinggal pergi ibunya untuk selamanya, Rizwan pindah ke San Fransisco dan hidup bersama adik dan iparnya. Selama disana, ia jatuh cinta kepada Mandira, seorang perempuan India, beragama Hindu, yang bekerja disebuah salon dan memiliki seorang anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya (kalo tidak salah namanya Shameer). Mereka menikah dan memulai usaha bersama.

Setelah peristiwa 9/11, Rizwan dan Mandira mulai menghadapi beberapa kesulitan. Pergolakan antara muslim dan non-muslim mulai merambah melalui berbagai aksi penyerangan. Dimulai dari sebuah penyerangan berbau agama di sekolahnya, yang menewaskan Shameer, yang membuat mereka berpisah. Mandira yang sedang bersedih dan kecewa, mulai menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyesal telah menikah dengan Rizwan yang beragama Islam yang karena last name nya menyebabkan Shameer tewas. Mandira meminta Rizwan untuk menemui Presiden U.S. dan menyampaikan bahwa "My name is Khan and I'm not a terrorist.

Ingin kembali memenangkan hati istrinya, Rizwan melewati sejumlah petualangan diberbagai negara bagian di Amerika, termasuk petualangannya membantu korban badai Katrina, pengalamannya dipenjara akibat disangka sebagai teroris hingga pertemuannya dengan Presiden U.S. sehingga keinginannya untuk berkata langsung "My name is Khan and I'm not a terrorist" tercapai sudah. Dan seperti film-film India pada umumnya, cerita dalam film ini berakhir dengan happy ending.

Melalui film ini, moral story yang saya peroleh yaitu terlepas apa dan siapa manusia itu (Muslim, Nasrani, China, India, negro, dll.) jangan mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan jaket atau label yang mereka pakai atau melalui kulit luarnya saja. Karena yang lebih penting adalah bagaimana manusia itu berinteraksi dalam kebaikan bagi sesama dan menjadi berguna bagi orang lain. Isi hati lebih penting dibandingkan dengan yang lainnya. Seperti yang diajarkan dalam Islam, bahwa jadilah rahmat bagi seluruh umat manusia karena Islam adalah agama rahmatan lil alamin.

Jumat, 26 Maret 2010

Air dan api

Seringkali saya mendengar salah satu alasan yang paling banyak dikemukakan ketika seseorang menghadapi masalah, yaitu adanya kendala dalam komunikasi. Istilahnya, miskomunikasi. Kendala tersebut menjadikan seseorang dan orang lain bagaikan air dan api. Nah, lagu ini sangat menggambarkan permasalahan yang sedang saya alami dengan beberapa orang belakangan ini. Yang pasti, semua yang telah terjadi membuat saya belajar banyak terutama belajar memahami diri saya sendiri dalam artian memahami potensi maupun hambatan yang terdapat dalam diri saya. Forget the past, live in the present and smile when thinking of the future...

Air Dan Api
oleh: Naif


Apa maumu?
Apa mauku
S’lalu saja menjadi satu masalah yang tak kunjung henti

Bukan maksudku
Bukan maksudmu
Untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja

Mengapa kita saling membenci?
Awalnya kita saling memberi
Apa tak mungkin hati yang murni sudah cukup berarti?
Ataukah kita belum mencoba memberi waktu pada logika?
Jangan seperti selama ini, hidup bagaikan air dan api.

Sabtu, 13 Maret 2010

Tak kenal maka tak sayang!!!

Beberapa hari yang lalu, saya diberi kesempatan untuk belajar mengenal dan memahami bagaimana prilaku dan interaksi antar manusia sangat berperan penting dalam sebuah organisasi. Pembelajaran yang sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Tapi kali ini, saya betul-betul bersinggungan langsung dengan hal itu.

Diawali dengan sebuah ide untuk membuat sebuah acara pelatihan yang melibatkan banyak orang yang tergabung dalam sebuah organisasi. Ide yang sangat bagus menurut saya pribadi dan ide itu pun bersambut. Lantas terbentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari beberapa orang yang dalam rutinitas sehari-hari, tidak semuanya berkesempatan untuk bersinggungan secara langsung. Dalam hal ini, kata yang tepat untuk menggambarkannya yaitu, belum pernah bekerja sama secara intens.

Persoalan mulai muncul saat ada seseorang dalam kepanitiaan tersebut yang memiliki cara berkomunikasi yang "unik." Dapat saya katakan "unik" karena cara penyampaiannya yang kadang membutuhkan rasionalitas yang tinggi dan tidak perlu melibatkan emosi dalam mencernanya. Setelah di re-check, si sumbernya mengatakan bahwa memang begitu caranya berkomunikasi. Yang harus dicermati adalah isi dari pesan, bukan cara penyampaiannya. Now, we have to understand the way she's communicate with other peoples. Does she understand us?? Only God and her self knows it.

Ok...Mungkin dalam hal ini, saya dan "teman-teman" belum mencapai tahap rasionalitas yang tinggi itu sehingga muncullah apa yang dikatakan olehnya "prejudice." Mungkin juga karena kami tidak terlalu akrab dengannya hingga timbullah salah persepsi diantara kita. Belum lagi masalah pembagian tugas yang agak simpang siur menurut saya. Pada saat itu, kami menganggap dan merasa, karena cara penyampaiannya yang "unik" itu, dialah yang akan menghandle semuanya. Tampaknya juga, she's happy to do that. Untuk bicara secara langsung, kami agak "segan." Bukannya takut, tapi kami agak malas berargumen (dan tentunya tidak semua hal perlu argumentasi) untuk sesuatu yang nantinya akan menimbulkan perasaan tidak nyaman di hati kami akibat cara penyampaiannya yang "unik."

Saya memutuskan untuk menyampaikan keluh kesah kami kepada salah satu dari temannya dengan harapan ada perubahan ke arah komunikasi yang lebih baik dan transparan. Kami yang dimaksud disini adalah saya dan teman-teman. Jadi, bukan mewakili kepentingan saya pribadi ataupun sentimen saya pribadi. Mungkin itu juga sebuah keputusan yang salah, karena pada akhirnya semua bola panas itu menggelinding ke arah saya tanpa saya duga. Hanya karena saya adalah orang yang sering berkumpul dengan teman-teman yang lain, pada akhirnya sayalah yang dicap si BIGOS alias Biang Gosip. Padahal, niat saya menyampaikan kepada temannya itu baik, hanya sekedar saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan menghindarkan omongan yang terlalu negative dibelakangnya. Kalau orang lain menganggap pola itu salah, ya maaf!!I'm just a human being yang tidak bisa membaca pikiran orang lain. Dan patut dipahami juga, bahwa tidak semua orang bersedia menerima kritikan dari orang yang tidak begitu dikenalnya. Apalagi oleh saya yang mungkin secara pemikiran, umur, pengalaman hidup dan berorganisasi tidak lebih hebat darinya. Mungkin juga, dalam proses komunikasinya itu sendiri, karena lewat perantara, ada "noise" yang menyebabkan salah persepsi diantara kami. Pola komunikasi yang transparan, mungkin yang seharusnya kami lakukan dari awal tanpa perlu ada perantara.

Pola komunikasi yang tidak transparan ini juga menimbulkan praduga dan prasangka. Seperti halnya juga terjadi terhadap diri saya. Pada saat itu, saya mendengar ada yang tidak suka dengan konsep yang sudah kami rancang. Tapi sayang, hal itu muncul hanya beberapa hari sebelum acara pada hari "H". Terus terang, saya marah saat itu. Bukan apa-apa, saya menyusun konsep itu tidak sendirian. Tapi dalam forum yang disebut dengan rapat panitia dan juga diputuskan bersama. Kalau memang tidak setuju, kenapa tidak dibicarakan pada saat rapat panitia tersebut? Apakah saya terlihat sangat otoriter sehingga orang lain tidak berani mengungkapkan ide ataupun argumentasi dihadapan saya?? Dimana pola komunikasi yang transparan yang digaungkan?? Apakah baik, ketika sudah diputuskan bersama lantas dimentahkan dibelakang saya??? Saat itu yang terpikir oleh saya hanya kelangsungan acara tersebut. Saya cuma ingin membuktikan bahwa We Can Do It. Dan terbukti, acara itu menurut saya pribadi, termasuk sukses. Entah menurut yang lain...

Persoalan lainnya, mengemuka saat seorang dari kepanitiaan tersebut mengambil keputusan diluar kesepakatan bersama. Kali ini, saya dengan berterus terang berkata bahwa apa yang sudah diputuskan oleh orang tersebut mengandung makna negative. Itu menurut subyektifitas saya. Kemudian acara pun berlangsung dengan lancar. Jikalau pada hari "H" nya terdapat benturan-benturan antar orang, dari sudut pandang saya pribadi, lebih disebabkan oleh tidak jelasnya pengaturan sejauh mana seseorang berperan atau bertugas dan juga mungkin kurangnya inisiatif dari orang-orang tersebut. Cara penyampaian yang "unik" yang hanya dapat dipahami oleh sebagian orang sehingga menimbulkan prejudice menjadi biang keladi selanjutnya. Mungkin disini juga letak ketidakprofesionalan kami dalam menghadapi berbagai perilaku orang karena cenderung menilai dan memberi label hanya karena beberapa noda yang mencemari. Terkadang memang mencari kekurangan orang lain itu lebih mudah ketimbang mencari kelebihannya. Saat seseorang melakukan kesalahan sebesar 10%, karena cara penyampaiannya yang "unik" itu, timbul kesan yang salah 90 % dan yang benarnya hanya 10%. So, please...at least give me 1 good mark...!!

Seperti halnya peribahasa, semut diujung lautan tampak. Gajah didepan mata, tak tampak. Semua kesalahan yang saya perbuat, dicatat dan disampaikan kepada seorang teman yang bersifat sebagai perantara (bukan sebagai penengah). Karena netralitas dirinya dalam hal ini, jelas-jelas saya ragukan (kalau dirinya sebagai penengah, tentunya dia paham mana yang harusnya disampaikan secara jujur, mana yang harus dia sembunyikan demi kebaikan bersama). Kembali, pola komunikasi yang tidak transparan terulang yang memicu saya untuk menuliskannya melalui email ke orang-orang tersebut. Lantas bertemulah kami.

Sejak awal, pertemuan itu saya niatkan untuk mendengar "versi" aslinya. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mendengarnya langsung dari sumber aslinya dan semakin jelaslah duduk permasalahannya. Satu persatu, masalah dikupas tuntas. Beberapa hal yang tidak saya ketahui sebelumnya, terungkap satu per satu. Ada beberapa hal juga yang sebenarnya ingin saya ungkapkan, tapi sepertinya tidak bisa mengubah penilaian mereka terhadap argumen saya. At least, semuanya membuat saya paham akan apa dan bagaimana saya harus bertindak ke depannya terhadap orang-orang tersebut. Istilah lainnya adalah aturan main dan aturan bertindak dan juga bersikap. Lebih baik bicara langsung, daripada timbul omongan tidak enak dibelakang. Karena tidak akan timbul sakit hati diantara mereka. Untuk setiap keputusan yang bersinggungan dengan saya, harus dikomunikasikan dan diputuskan dulu bersama. Mudah-mudahan, saya dapat menjalaninya dengan baik.

Hanya saja, karena saat itu hati sedang panas, saya melupakan 1 hal. Saya lupa meminta maaf dan menjabat tangan orang-orang tersebut. Mudah-mudahan pada kesempatan yang lain, saya bisa meminta maaf atas segala kesalahan yang telah saya perbuat yang menimbulkan ketidaknyamanan diantara kami. Yang pasti tidak ada dendam di hati saya. Karena saya meyakini bahwa di dunia ini tidak ada teman dan/atau musuh yang sejati. Yang ada hanya kepentingan sejati.

Tak kenal maka tak sayang...

Senin, 08 Maret 2010

'Katie Cruel'

If I was where I would be,
Then I would be where I am not.
Here I am where I must be,
Where I would be, I cannot.


(from 'Katie Cruel', a traditional song)