Sabtu, 17 Oktober 2009

Bapak...

20 tahun yang lalu, pada tanggal 13 Oktober, saya telah kehilangan sesosok mahluk yang juga merupakan idola saya, yaitu Bapak. 20 tahun yang lalu, hujan air mata membanjiri kediaman kami. Bapak berpulang ke haribaan-Nya dalam usia yang masih terbilang muda, 40 tahun, setelah berjuang selama kurang lebih 10 hari melawan penyakit lever yang telah menggerogoti hatinya lebih dari 2 tahun.

Masih terngiang ditelinga saya, pesan dan amanah yang beliau ucapkan pada hari terakhir kami bertemu. Sore itu, di salah satu kamar di rumah sakit Saint Carolus di Salemba, selepas menunaikan sholat Ashar, bapak memanggil saya agar mendekat ke tempat tidurnya. Ahh...bapak memang lelaki yang baik. Walaupun badannya dipenuhi oleh beberapa selang infus, tapi tak menghalangi niatnya untuk beribadah. Menjelang detik-detik terakhir, beliau malah semakin relijius.

Saat saya mendekatinya, saya diminta untuk duduk disamping tempat tidurnya. Beliau lantas berpesan agar saya rajin sholat dan mendoakannya, juga beliau berpesan agar saya tidak nakal dan mau menjaga mama dan adik-adik. Kemudian beliau mencium kening saya dan memandang wajah saya agak lama. Saat itu saya tidak mempunyai firasat apapun. Hanya sedikit aneh, kenapa hanya saya yang diberi wejangan dan nasehat sementara pada saat yang bersamaan, disitu ada kakak dan adik-adik saya.

Kejadian itu berlangsung pada hari rabu. Hari kamisnya, tak ada satupun dari kami, anak-anaknya yang menjenguk beliau di rumah sakit walaupun ada beberapa kerabat yang mengajak kami ke sana. Entahlah...

Jumat pagi, kami dibangunkan oleh si mbak dan segera diminta mandi. Kami diminta agar tidak ke sekolah tanpa diberitahu apa penyebabnya. Seluruh keluarga sudah berkumpul dirumah dan isak tangis si mbak maupun keluarga tak dapat membohongi kami mengenai apa yang telah terjadi. Saya yang saat itu berusia 9 tahun, sudah bisa mencium gelagat bahwa kami telah kehilangan bapak yang sangat kami sayangi. Begitu pula kakak saya yang hanya terpaut 16 bulan dengan saya, sudah paham akan apa yang telah terjadi. Hanya adik-adik yang mungkin belum menyadari apa artinya kehilangan seorang bapak. Saya dan kakak hanya dapat berbisik-bisik mengenai kepergian bapak. Di kamar mandi itu pula, kakak saya bercerita bahwa semalam ia bermimpi mendengar suara kicau burung yang aneh yang tidak pernah ia dengar selama ini.

Betul saja, bapak telah berpulang. Itu kabar yang disampaikan oleh budeh saya ketika kami diminta berkumpul. Tak ada isakan tangis, hanya setetes air mata dan doa. Ruang tamu segera dibereskan beserta perabotnya. Yang tinggal hanyalah sebuah dipan kecil tempat disemayamkannya jenazah bapak. Saat ambulans pengantar jenazah tiba, itulah saat saya dapat melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya. Bapak terlihat tersenyum walaupun dari lubang hidungnya mengeluarkan darah. Saya masih ingat betul warna pakaian terakhir yang bapak kenakan berwarna coklat. Mama terlihat menangis dan histeris bahkan sempat beberapa kali pingsan. Bisa saya rasakan kepedihannya sebagai ibu muda yang ditinggal pergi sang suami dan harus mengemban amanah 4 orang anak perempuan yang masih kecil-kecil. Keluarga beserta tamu banyak berdatangan dari berbagai kalangan. Alhamdulillah, banyak juga yang ikut menyolatkan bapak. Bapak memang pandai bergaul dan orang yang humoris serta penolong. Tak heran, bapak punya banyak teman. Selama bertakziah, semua orang menceritakan pengalaman-pengalamannya selama bergaul dengannya. Kebanyakan memuji perilaku dan sikap bapak yang baik. Bahkan pada saat sakaratul maut, bapak masih sempat meminta maaf kepada mama dan juga keluarga yang ada pada saat itu. Dua kalimat syahadat dilafazkannya saat malaikat maut menjemput. Tak ada tanda-tanda kesakitan maupun siksaan saat ajal menjemput. Subhanallah....

Setelah disholatkan, jenazah lalu dibawa ke rumah mak tuo, di Klender. Disitulah rencananya bapak akan dimakamkan, tidak jauh dari rumah kakaknya. Setelah nenek dan angku beserta keluarga dari Kinari tiba, barulah jenazah bapak dimakamkan. Tepatnya setelah adzan Maghrib, bapak dimakamkan dengan diiringi oleh tetesan air mata, doa dan hujan gerimis yang menyertai sendunya prosesi. Bapak memang orang sholeh...bahkan bumi pun menangis mengiringi kepergiannya.

Bapak, seorang lelaki Minang bersuku Tanjung yang dilahirkan di Kinari, Sumatera Barat, merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara seibu dan sebapak. Kedua saudaranya perempuan semua. Selepas sekolah dasar di Kinari, bapak melanjutkan sekolah di Solok. Sedangkan waktu SMA dan kuliah, bapak habiskan dikota Yogyakarta. Dulu bapak mengenyam pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada fakultas Hukum. Karena itu pula, logat dan perilakunya lebih mencerminkan orang Jawa ketimbang orang Sumatra.

Selepas kuliah, beliau bekerja disalah satu instansi pemerintah dimana disitu pula beliau bertemu dengan mama. Walaupun awalnya sempat ditentang keluarga, mereka akhirnya menikah jua. Adat dan faktor sukuisme memang masih sangat kental di keluarga kami. Bapak menikah pada usia 29 tahun. Perbedaan usia antara bapak dan mama sekitar 7 tahun. Bapak sangat menginginkan seorang anak laki-laki, sedangkan kami berempat perempuan semua. Walaupun begitu, tak mengurangi rasa sayangnya kepada kami berempat.

Pekerjaannya yang banyak menyita waktu untuk bepergian ke berbagai pelosok nusantara, tak menghalangi keakraban diantara kami. Saat waktunya sholat Maghrib, kami selalu sholat berjamaah. Beliau yang mengajariku mengaji, berdoa dan sholat. Terkadang beliau pula yang menemaniku saat mengerjakan PR. Karena itu juga, saya selalu berusaha membuatnya bangga. Prestasi yang saya raih di sekolah, selalu mengingatkan saya akan bapak. Saya tidak ingin mengecewakan hati bapak.

Setiap ada masalah, selalu bapak yang saya panggil. Bapak orang yang sabar dan sangat melindungi. Pernah ketika saya berkelahi dengan teman saya, bapaklah yang menjadi pahlawan saya. Bahkan saat saya beranjak besar, setiap ada masalah dan membuat saya sedih, bapak jualah yang selalu saya ingat dan saya panggil walaupun saya sadar bahwa bapak sudah tidak ada. Beberapa kali pula bapak hadir dalam mimpi saya. Tak banyak yang dikatakannya. Beliau hanya tersenyum dan memandang wajah saya. Setiap kali pula, saya selalu mengatakan kepadanya untuk jangan pergi meninggalkan saya. Tetapi Allah memang lebih mencintainya. Orang baik memang selalu pergi lebih dulu.

Bapak....andai bapak masih disini....
Kan kurangkai semua nada-nada indah untuk mu
Kan ku persembahkan seluruh untaian kasihku
Semuanya...tak terkecuali

Bapak...banyak maaf ku lontarkan
jika diri ini masih banyak melakukan dosa
Masih belum bisa memenuhi amanahmu
Masih banyak waktu yang dilalui tanpa mendoakan mu

Bapak...
Semoga bapak bahagia di sisi-Nya
Bersama dengan malaikat-malaikat-Nya
Di naungan Ar-Rasyi
Mudah-mudahan kita dapat berkumpul kembali kelak

Bapak...
Kangen....

Ya Allah...ampunilah dosanya dan sayangilah beliau sebagaimana beliau menyayangiku diwaktu aku kecil. Amieennn...(In memoriam, Arsal Sali, 9 September 1949-13 Oktober 1989).




1 komentar:

Anonim mengatakan...

lha bapak yang itu????