Jumat, 23 Oktober 2009

Sayap Yang Tak Pernah Patah (by Anis Matta)

Mari kita bicara tentang orang-orang yang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vandervijck tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka “majnun” lalu mati. Atau jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir. Atau layu tak terbalas.

Ini cerita cinta yang abadi yang digali dari mata air-air mata. Dunia tidak merah jambu. Disana hanya ada Qais yang telah Majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung :
"Ooo burung, adakah yang mau meminjamkan sayap! Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati."

Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan bela sungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri .

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai disana, apabila ada cinta dihati satu pastilah ada cinta dihati yang lain, “kata Rumi” sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain. Mungin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling haqiqi, selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat, kita tidak pelu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan yang agung : mencintai.

Ketika kasih tak sampai atau uluran tangan cinta ditolak yang sesungguhya terjadi hanyalah kesempatan memberi yang lewat. Hanya itu setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan maka persoalan ketidak sampaian jadi tidak relevan karena ini hanya murni masalah waktu.

Para cinta sejati selamanya hanya bertanya “apakah yang akan kuberikan”? Tentang kepada siapa sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi kita hanya patah atau hancur karena kita lemah, kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini menyintai seseorang lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama itu lantas menjadi sumber kesengsaraan kita menderita bukan karena kita menyintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.

(Tulisan yang sangat menyentuh hati. Very inspiring...buat para pencinta cinta. Enjoy....)


Tidak ada komentar: